Jumat, 27 April 2012

Surat Memperingati 100 tahun Surat Motu Proprio Tra le Sollecitudini (Mengenai Musik Suci) oleh Supreme Pontiff Yohanes Paulus II

1. Termotivasi oleh keinginan yang kuat "untuk mempertahankan dan mempromosikan sebuah kesopanan dari Rumah Tuhan", Pendahulu saya St Pius X mengajarkan Motu Proprio Tra le Sollecitudini pada 100tahun lalu. Tujuannya adalah untuk memperbaharui musik suci dalam liturgi. Dengan itu ia bermaksud untuk menawarkan panduan praktis dalam Gereja mengenai sektor penting dari liturgi, menghadirkannya, seakan-akan, sebagai "kode wilayah dari musik suci" [1]. Tindakan ini juga merupakan bagian dari program Pontifikat yang ia simpulkan dalam motto Potifikatnya: "Instaurare omnia in Cristo" "Seluruh Ketetapan dalam Kristus".



Sabtu, 07 April 2012

Homili Misa Krisma (Rabu Kudus) 2012 oleh Paus Benediktus XVI

 
Saudara-saudari yang terkasih,

Pada Misa Kudus ini pikiran kita kembali ke saat-saat ketika, melalui doa dan penumpangan tangan, uskup membuat kita berbagi dalam imamat Yesus Kristus, sehingga kita mungkin "dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17:19) , sebagaimana Yesus meminta kepada Bapa bagi kita dalam kuasa doa-Nya sebagai Imam Tertinggi. Dia sendiri adalah kebenaran. Dia telah menguduskan kita, artinya, menyerahkan kita kepada Allah untuk selama-lamanya, sehingga kita dapat melayani baik itu pria dan wanita sebuah pelayanan yang berasal dari Allah dan membawa kepada-Nya. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah apakah konsekrasi (pengudusan) kita telah mencakup kenyataan dalam kehidupan sehari-hari kita - apakah kita bekerja sebagaimana mestinya orang-orang Allah yang merupakan pengikut Kristus? Pertanyaan ini membuat kita menempatkan Tuhan di depan kita dan kita di hadapan-Nya. "Apakah anda telah memutuskan untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan kita Yesus Kristus dan lebih erat serupa dengan Dia, menyangkal diri dan meneguhkan janji-janji tentang tugas suci kamu kepada Gereja Kristus yang dimana, kamu diminta untuk mencintai Gereja-Nya, dengan kerelaan dan sukacita anda untuk menghidupi kehidupan Imamat sehari-hari? "Setelah homili ini, saya akan membahas pertanyaan ini kepada anda masing-masing di sini dan tentu saja juga kepada diri saya sendiri. Dua hal terutama, di atas semua, apa yang diminta dari kita yaitu: ada sebuah kebutuhan untuk ikatan terdalam, keselarasan kepada Kristus, dan pada saat yang sama harus ada sebuah tindakan yang harus melampaui diri kita sendiri, sikap penolakan dari apa yang hanya kita miliki, dari banyaknya hal yang dapat digembar-gemborkan dari diri kita sendiri untuk pemenuhan rasa puas untuk diri kita sendiri. Padahal Yang kita butuhkan dalam pelayanan Imamat ini, yang saya butuhkan, untuk tidak mengklaim hidup saya sebagai milik saya sendiri, tetapi untuk menempatkannya di kepada orang lain - yaitu Kristus. Saya seharusnya tidak bertanya apa yang saya dapat miliki ketika saya berbuat sesuatu, tetapi apa yang bisa saya berikan untuk Dia dan juga bagi orang lain. Atau dengan kata yang lebih khusus, peselarasan kepada Kristus, yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, yang tidak menerima, melainkan memberi - tetapi bentuk apa yang dibutuhkan dalam situasi yang sering terjadi secara dramatis kepada Gereja saat ini? Baru-baru ini sekelompok imam dari negara Eropa mengeluarkan panggilan untuk ketidaktaatan, dan pada saat yang sama bentuk-bentuk nyata dari ketidak taatan ini terjadi secara frontal dan nyata, bahkan sampai kepada titik dimana tidak mempedulikan keputusan definitif dari Magisterium Gereja, seperti pertanyaan tentang thabisan Imamat perempuan, yang dimana Beato Paus Yohanes Paulus II menyatakan secara defenitif dan tidak dapat ditarik kembali bahwa Gereja tidak menerima otoritas ini dari Tuhan. Apakah ketidaktaatan adalah jalan pembaharuan bagi Gereja? Kita ingin percaya bahwa penulis-penulis ini terpanggil karena termotivasi oleh keprihatinan mereka kepada Gereja, bahwa mereka yakin lambatnya sikap Gereja harus diatasi dengan langkah-langkah yang cepat dan drastis, untuk membuka jalur baru dan untuk membawa Gereja ke jaman saat ini dimana menerima apa yang lumrah dilakukan dijaman sekarang. Tapi apakah ketidaktaatan benar-benar cara untuk melakukan ini? Apakah kita merasakan sebuah keselarasan kepada Kristus yang merupakan prasyarat untuk semua pembaruan-pembaruan yang benar, atau apakah kita hanya merasakan sebuah dorongan putus asa untuk melakukan sesuatu untuk mengubah Gereja sesuai dengan hasrat, preferensi dan ide dari diri kita sendiri?





Selasa, 03 April 2012

Inter Insigniores oleh CDF dan petikan dokumen Ordinatio Sacerdotalis


Deklarasi Pada Pertanyaan Mengenai Wanita Untuk Tahbisan Imamat

Inter Insigniores

15 Oktober 1976

Konggregasi Suci untuk Ajaran Iman

Pengantar

Peran Wanita Dalam Masyarakat Modern Dan Gereja

Di antara karakteristik yang menandai zaman kita, Paus Yohanes XXIII menunjukkan, dalam ensikliknya "In Pacem Terris" 11 April 1963 mengatakan, "bagian yang perempuan sekarang ambil dalam kehidupan publik... Ini adalah perkembangan yang barangkali tumbuh diantara bangsa-bangsa Kristen, bahkan terjadi secara luas, barangkali lebih lambat, diantara bangsa-bangsa yang adalah merisi tradisi yang berbeda dan dijiwai dengan budaya yang berbeda "[1]. Sepanjang hal yang sama, Konsili Vatikan II, menyebutkan ini dalam Konstitusi Pastoral" Gaudium et Spes " sebagai bentuk-bentuk diskriminasi yang menyentuh atas hak-hak dasar manusia yang harus diatasi dan dihilangkan karena bertentangan dengan rencana Allah, memberikan tempat pertama pada diskriminasi berdasarkan gender sex [2]. Sebuah kesetaraan yang dihasilkan akan dapat mengamankan pembangunan dari dunia yang dimana tidak datar dan seragam tetapi harmonis dan bersatu, jika laki-laki dan perempuan berkontribusi untuk itu sumber daya mereka sendiri dan dinamisme, sebagai Paus Paulus VI baru-baru saja katakan[3].

Dalam kehidupan Gereja sendiri, karena sejarah menunjukkan kepada kita, perempuan telah memainkan peran yang menentukan dan tugas dicapai merupakan nilai yang luar biasa. Salah satunya mungkin kita dapat memikirkan pendiri-pendiri keluarga religius besar(ordo), seperti Santa Clara dan Santa Teresa dari Avila. Yang terakhir lainnya, apalagi, dan Santa Catherine dari Siena, telah meninggalkan tulisan-tulisan yang begitu kaya dalam doktrin spiritual yang dimana Paus Paulus VI telah memasukkan beliau ini diantara Doktor Gereja. Juga tidak kita melupakan sejumlah besar perempuan yang telah menghabiskan dirinya kepada Tuhan untuk menjalankan amal atau untuk misi, dan menjadi istri Kristen yang memiliki pengaruh besar pada keluarga mereka, terutama untuk menyampaikan iman untuk anak-anak mereka.

Tetapi pada jaman kita telah timbulnya sebuah peningkatan tuntutan: "Karena dalam zaman kita wanita memiliki ruang yang lebih aktif dalam kehidupan seluruh masyarakat, sangat penting bahwa mereka berpartisipasi lebih luas juga di berbagai sektor kerasulan Gereja" [4]. Maka dari tuntutan ini Konsili Vatikan II telah menggerakkan seluruh proses perubahan sekarang terjadi: berbagai pengalaman ini tentu saja perlu datang dengan sikap yang lebih dewasa. Tapi seperti Paus Paulus VI juga lakukan, [5] jumlah yang sangat besar komunitas Kristen yang sudah mendapatkan manfaat dari komitmen dari Tahta Suci Apostolik kepada wanita. Beberapa perempuan dipanggil untuk mengambil bagian dalam konsili dimana mengatur sebuah refleksi pastoral, di tingkat keuskupan atau paroki, dan Takhta Apostolik telah membawa perempuan ke dalam berbagai kerja tubuh Gereja.

Untuk beberapa tahun sekarang ini berbagai komunitas Kristen Reformasi yang berasal dari abad keenam belas atau pecahan mereka kemudian telah mengakui perempuan ke dalam tugas pastoral bergandengan sejajar dengan laki-laki. Inisiatif ini telah menyebabkan berbagai petisi(permintaan) dan tulisan oleh anggota komunitas-komunitas tersebut dan kelompok serupa, sehingga membuat hal ini diterima secara umum; tetapi hal itu juga menyebabkan reaksi yang berlawanan. Oleh karena itu ini merupakan masalah ekumenis, dan Gereja Katolik harus membuat diri-Nya berpikir seperti diatas, semua hal ini lebih karena di berbagai sektor pendapat dari pertanyaan ini telah ditanyakan apakah Dia(Gereja Katolik) juga tidak dapat memodifikasi disiplin dan mengakui perempuan untuk ditahbiskan menjadi imam. Sejumlah teolog Katolik bahkan telah mengajukan pertanyaan ini kepada publik, membangkitkan studi tidak hanya dalam lingkup sejarah tafsir, patrology(mengenai Bapa Gereja/Patristik) dan Gereja, tetapi juga di bidang sejarah dan adat istiadat institusi, sosiologi dan psikologi. Berbagai argumen mampu menjelaskan masalah ini penting telah diserahkan kepada pemeriksaan kritis. Karena kita berhadapan dengan teologi klasik perdebatan yang hampir menyentuh segalanya, argumentasi saat ini yang dijalankan sangat resiko mengabaikan unsur penting.

Untuk alasan ini, dalam pelaksanaan mandat yang diterima dari Bapa Suci dan menggemakan deklarasi yang beliau sendiri nyatakan dalam suratnya tertanggal 30 November 1975,[6] Kongregasi untuk Ajaran Iman sebagai hakim dalam masalah ini perlu untuk mengingat bahwa Gereja, dalam contoh kesetiaan kepada Tuhan, tidak menganggap dirinya berwenang untuk mengakui wanita untuk ditahbiskan menjadi imam. Kongregasi Suci memandang secara tepat di titik ini untuk menjelaskan dimana posisi Gereja berdiri. Ini merupakan posisi yang mungkin akan menimbulkan rasa sakit bagi orang lain tetapi akan menjadi nilai positif yang akan menjadi jelas dalam jangka panjang, karena dapat membantu dalam memperdalam pemahaman tentang peran masing-masing laki-laki dan perempuan.

Ketaatan: Ketaatan dalam Iman

Ketaatan adalah satu dari banyak Karya Roh Kudus, dan itu adalah buah Roh Kudus terpenting. Terkadang manusia merasa bahwa ketaatan itu tidak perlu, tetapi perlu kita ketahui ketaatan adalah kunci dari semuanya, Manusia pertama jatuh dalam dosa pertama kali adalah dosa ketidak taatan, Israel dibuang di Babel karena ketidak taatan mereka, Alkitab mencatat bahwa buah ketidaktaatan adalah kebinasaan.